Laman

Thursday 19 May 2011

GURU

Guru adalah salah satu bidang pekerjaan yang mulai dilirik oleh kalangan pencari kerja saat ini. Dengan dilkeluarkannya Undang-undang nomor 14 tahun 2005 yang mengatur tentang berbagai kebijakan untuk guru dan dosen, maka

para pencari kerja pun mulai melirik pekerjaan sebagai guru yang tadinya dianggap sebagai profesi kelas dua. Dalam undang-undang yang dikeluarkan belum lama ini, dikatakan bahwa gaji guru dan dosen akan dinaikkan dua kali lipat dari gaji sebelumnya, sesuatu yang dapat kita anggap sebagai angin segar bagi dunia pendidikan kita. Tapi persoalan lain muncul ketika dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa yang berhak mendapat kenaikan gaji ini adalah para guru yang memiliki ijazah sarjana (S1) atau setara dengan tingkat D4. jumlah guru di Negara Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 2,7 juta guru, dari jumlah ini kita dapat membaginya menjadi dua kelompok, yaitu guru untuk kalangan sekolah menengah dan kalangan guru yang mengajar pada tingkat SD dan TK. Untuk kalangan guru yang mengajar di tingkat sekolah menengah sepertinya tidak terlalu memprihatinkan karena sebanyak 62,08% guru telah mencapai tingkat S1, berarti tersisa 37,92% yang belum meiliki ijazah S1, tetapi di tingkat guru SD dan TK ternyata sangat memprihatinkan, dari sekitar 1,3 juta guru SD hanya sekitar 8,3% yang sudah memenuhi kriteria yang tercantum dalam Undang-undang
. Mungkin belum terlalu jauh terlepas dari sekelumit fakta yang saya cantumkan diatas, sekarang saya ingin membahas mengenai pasal-pasal yang akan menjadi pusat pembahasan dari bab ini. Yang pertama saya soroti adalah pada bab.4, bagian 2, pasal 14, ayat 1 mengenai hak dan kewajiban guru yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan dalam menjalankan tugas keprofesionalannya, maka guru berhak untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteran sosial. Saya akan membahas mengenai fakta yang terjadi saat ini berkaitan dengan jaminan yang dikatakan di dalam undang-undang. Menurut saya guru adalah suatu pekerjaan, setiap pekerjaan haruslah mempunyai jaminan bagi para pelaksananya, dalam hal ini jaminan berkaitan dengan adanya pelaksanaan Hak Asasi Manusia yang seharusnya terjamin bagi tiap pekerja. Menurut Krzysztof Drzewicki dalam Ifdhal Kasim, ed, (2001)[2] hak-hak yang terkait dengan kerja ada empat macam, yaitu :
a. Hak yang terkait dengan pekerjaan secara langsung, seperti bebas dari perbudakan, bebas dari kerja paksa dan kerja wajib, kebebasan bekerja serta hak atas layanan kerja yang bebas.
b. Hak yang diturunkan dari pekerjaan, terkait dengan hak atas kondisi kerja yang adil, sehat dan nyaman, hak atas upah yang adil, hak atas pelatihan dan bimbingan kerja, hak atas jaminan sosial serta hak untuk memperoleh perlindungan bagi pekerja perempuan.
c. Hak memperoleh perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dalam pekerjaan, berkaitan dengan semua perjanjian internasional utama tentang hak-hak sosial serta dalam perjanjian-perjanjian khusus berkaitan dengan isu-isu non diskriminatif.
d. Hak-hak instrumental, berkaitan dengan hak atas kebebasan berkumpul, hak untuk berorganisasi, hak atas tawar menawar kolektif dan bahkan hak untuk mogok.
Menurut saya pertanyaan yang sangat berkenaan dengan jaminan sosial (terletak pada poinB), adalah ; “adakah jaminan sosial untuk guru?”. Jaminan sosial yang ada di makalah ini berhubungan erat dengan kesejahteraan yang tidak kunjung dialami oleh semua guru di Indonesia. Kesejahteraan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh semua manusia (dalam hal ini adalah guru). Sebagaimana dalam hasil penelitian HAR Tilaar dalam Hadiyanto (2004) bahwa kesejahteraan sangat signifikan mempengaruhi profesionalitas guru, mencapai 60%, dibandingkan komponen lainnya seperti pengetahuan, keterampilan dan dedikasi[3].
Jumlah guru di Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 2,7 juta guru, dari jumlah itu kemungkinan guru yang bekerja di daerah terpencil dan daerah perang, masih belum dapat terpetakan jumlahnya. Mungkinkah mereka bisa ikut merasakan jaminan sosial yang dikatakan dalam undang-undang? Sebagai contoh adalah seorang guru yang bekerja di daerah kutai yang bernama Rusnawati (47 tahun), seorang guru SD Kampung Sambung, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, bertahun-tahun berjuang “sendirian”, dan kini bertanggungjawab atas pendidikan 25 anak yang terbagi atas 6 kelas yaitu kelas I: 8 murid, kelas II: 3 murid, kelas III: 3 murid, kelas IV: 1 murid, kelas V: 2 murid, dan kelas VI: 8 murid, sehingga total 25 murid [4]
Sekolah dimulai pukul 6:00 pagi dan pada pukul 6:30 semua murid “gosok gigi” bersama. Anak-anak kelas I – III pulang pukul 11:00, sedangkan anak-anak kelas IV – VI pulang pukul 13:00. Tentu kita kagum bagaimana seorang guru mengajar 25 anak didik dengan 6 kelas yang berbeda dengan buku-buku yang sangat terbatas. Kampung (desa) Sambung, berjarak 160 km dari Melak (Sendawar, ibukota Kutai Barat) dengan perjalanan darat sebagian besar masih jalan tanah buatan perusahaan HPH. Perjalanan dari Melak memerlukan 4 jam, sedangkan ke perbatasan dengan Kalteng yang hanya 10 km ditempuh dalam 1 jam perjalanan.
Ini masih soal satu guru saja, bagaimana dengan guru-guru lainnya yang berada di daerah yang lebih terpencil lagi, seperti yang berada di Papua, kalimantan, dan sulawesi?Adakah jaminan sosial bagi mereka? Sebanyak yang saya baca, hanya segelintir saja (tentu saja dalam jumlah yang relatif kecil) yang mampu merasakan adanya program jaminan sosial, seperti hak atas kondisi kerja yang adil, sehat dan nyaman, hak atas upah yang adil, hak atas pelatihan dan bimbingan kerja seperti yang tertera dalam Undang-undang diatas. Atau tidak usah terlalu jauh dalam mencari contoh mengenai ketidak sejahteraan guru, lihat saja salah satu contoh kasus guru yang ada di ibukota Jakarta sendiri, Supriyono, kini mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dewi Sartika Jakarta Timur. Ia sudah menjadi guru selama 12 tahun. Pada profesi lain, pengalaman kerja yang cukup panjang itu tentunya sudah membuahkan penghasilan atau kedudukan lumayan. Tetapi sebagai guru honorer, penghasilan Supriyono kini bahkan tak mencapai Upah Minimum Regional Jakarta , yang sangat ironis ternyata adalah ia mendapatkan penghasilan yakni hanya Rp380.000/bulan. Penghasilan sekecil itu tentu tak dapat mencukupi kebutuhan hidup Supriyono dan keluarganya.Untuk memenuhi kebutuhan, Supriyono terpaksa mengajar di tempat lain. Dengan cara itu, ia berhasil memperoleh penghasilan kurang lebih sebesar Rp 700.000/bulan. Jika kualifikasi akademik, panjang masa kerja dan keahlian yang diperlukan diperhitungkan dalam penentuan penghargaan terhadap guru, rendahnya gaji guru seperti yang dialami Supriyono itu memang terasa amat memprihatinkan. [5]
Untuk lebih jelas lagi dalam pembahasan mengenai jaminan-jaminan yang terdapat dalam undang-undang guru dan dosen ini, maka saya akan menuliskan apa yang ada di dalam Bab.4, bagian kedua, pasal 14, ayat 1 mengenai jaminan-jamina yang ’seharusnya’ diberikan kepada seorang guru [6];

1. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak :
a. Memperoleh penghasilan diatas kebutuhan minimum dan jaminan kesejahteraan sosial,
b. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja,
c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual,
d. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi,
e. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan,
f. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan,
g. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas,
h. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi,
i. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
j. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi, dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

Selain itu, saya juga ingin memaparkan bagian ketujuh pasal 39 yang ada dalam undang-undang guru dan dosen yang berbicara mengenai perlindungan ;

1. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
4. Perlindungan profesi yang dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelanggaran lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
5. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap resiko gangguian keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau resiko lain.

Mari kita lihat contoh kasus yang lainnya mengenai kesejahteraan guru, seorang kepala sekolah dasar di kecamatan Grabag, Kagupaten Magelang, Jawa Tengah ditangkap kepolisian Resor Kebumen. Ia ditangkap bersama komplotannya merampok toko bahan kebutuhan pokok di jalan Yos Sudarso, Gombong[7]. Dari kasus ini, kita dapat meyimpulkan secara mudah bahwa guru sebagai tenaga pendidik ternyata belum mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya seperti yang tertulis dalam undang-undang guru dan dosen bab 4, bagian kedua, pasal 14 ayat 1a. Kemudian kasus yang berkitan dengan pasal 1c dan pasal 1g, dalam pemberitaan kompas[8] dikatakan sesuatu yang mengejutkan bahwa lebih dari 100 guru tewas dan hilang di wilayah konflik seperti Aceh, Papua dan Maluku. Dalam pernyataan yang dikutip dari Mohammad Sury selaku ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), setelah mereka mengajar seperti menerangkan bendera Indonesia dan bagaimana kesatuan negara ini dibentuk. Diantara mereka ada yang dijemput oleh orang-orang yang tak dikenal di sekolah. Mereka dibunuh dan diculik karena profesi mereka sebagai guru (pendidik). Seperti halnya korban penculikan, mereka tidak pulang lagi atau kemudian ditemukan sudah menjadi mayat. Menurut perkiraan, kebanyakan yang tewas adalah guru-guru SD dan SMTA. Nasib mengenaskan juga dialami oleh guru eks Tim-Tim yang meninggalkan rumah dan harta bendanya untuk begabung dengan NKRI, tetapi hingga saat ini nasibnya masih terkatung-katung.
Kemudian masih terkait dengan nasib seorang guru SD yang tadi telah ada diatas, yang bernama Rusnawati (Beliau mengajar sebagai guru SD Kampung Sambung, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur), ada juga kasus seorang guru SD di Gorontalo yang bernama Sukri Baguo. Dengan pendapatan yang tidak lebih dari 800.000 sebulan, ia harus menyiasati minimnya jumlah guru dengan cara berlari-lari dari satu ruang kelas ke kelas lainnya. Di sekolah Sukri kurang lebih ada 245 anak yang menjadi tanggungan 5 orang guru (sudah termasuk kepala sekolah). Pada awalnya, untuk menjangkau lokasi tugas ia harus menyusuri Sungai Paguyaman dengan perahu selama 7 jam, karena jarak sekolah dengan tempat tinggalnya yang berjarak kurang lebih ”hanya” 27 Km kemudian disertai dengan pengeluaran ongkos sewa perahu sebesar 30.000 untuk sekali jalan cukup merepotkan, maka atas ketulusan salah satu orang tua murid, ia diperbolehkan menumpang di sebuah gubuk berdinding bambu milik warga desa Sari Tani, yang tak jauh dari tempat ia mengajar.[9]
Dari kasus di atas, mari kita lihat Undang-undang guru dan dosen, bagian kedua, pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa; ”Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) (mengenai tunjangan profesi) kepada guru yang bertugas di daerah khusus”. Dari kenyataan aktual yang terjadi, kemudian setelah melihat Undang-undang, maka pertanyaan besar yang kembali terulang adalah ‘Adakah jaminan sosial untuk para guru? benarkah ada jaminan sosial?’ Jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Perlindungan ini diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau berkurangnya pendapatan. Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”. [10]

Beberapa Langkah-Langkah Yang Perlu Diperhatikan
Dalam menyikapi masalah-masalah yang melanda dunia pendidikan khususnya yang terkait dengan jaminan sosial, saya tidak mau gegabah dalam memberikan masukan ataupun menawarkan solusi yang revolusioner dan karena hal inilah maka saya tidak menyebutkan bagian terakhir ini sebagai bagian pemecahan masalah, karena masalah yang sering muncul dalam wajah pendidikan di Negara kita bukanlah suatu masalah yang baru muncul begitu saja, tetapi memang sudah memiliki akar dan berimplikasi dari suatu sistem yang memang dari atasnya sudah tidak baik. Yang perlu dilakukan sekarang adalah bukan mencoba menggali lebih banyak lagi kesalahan-kesalahan dan keprihatinan-keprihatinan yang telah dan tengah melanda dunia pendidikan kita untuk disesali dan hanya sekedar diteliti, tetapi untuk dijadikan pembelajaran bersama dan menjadi suatu ‘tonggak perubah’ terutama mengenai jaminan sosial bagi para guru. Secara terencana dan konkrit, Perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang saling melengkapi yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup seluruh rakyat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendekatan pertama adalah pendekatan asuransi sosial atau compulsory social insurance, yang dibiayai dari kontribusi/ premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/ premi dimaksud selalu harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/ upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Berkaitan dengan hal yang terjadi, maka saya berpandangan bahwa sistem seperti ini bukan tidak mungkin akan berhasil, tetapi apabila dilihat lagi jumlah guru yang sudah saya sebutkan diatas beserta masalah-masalahnya, maka saya menganggap bahwa pendekatan seperti ini akan menemui kesulitan dalam pengimplementasiannya. Hal ini menurut saya dikarenakan pendapatan dari guru sendiri yang kurang dapat menjamin kalau ia mampu untuk membayar premi untuk asuransi setiap bulannya, bagus kalau Iya, kalau tidak? Saya yakin masih banyak Rusnawati-rusnawati dan Sukri Baguo lainnya yang bernasib sama atau mungkin lebih memprihatinkan lagi mengenai pendapatannya. Dari hal ini maka saya juga berpandangan bahwa sangat mungkin bahkan, kalangan guru yang saperti mereka, ‘susah untuk bergerak bebas’, malahan memandang jaminan sosial dengan sistem seperti ini malah menambah beban mereka, walaupun pendekatan jaminan sosial seperti ini sudah mengaitkan dengan pendapatan seorang guru yang bersangkutan.
Kemudian pendekatan yang kedua adalah berupa Bantuan Sosial atau Social Assistance, baik dalam pemberian bantuan tunai maupun pelayanan dengan sumber pembiayaan dari Negara dan bantuan sosial dan masyarakat lainnya. Dalam pendekatan yang satu ini, saya mungkin lebih setuju apabila dibandingkan dengan pendekatan Asuransi Sosial atau Compulsary Social Insurance yang telah dibahas terlebih dahulu. Dalam pendekatan ini, saya rasa lebih cocok untuk diterapkan kepada golongan guru. Karena selain pemerintah terlibat, masyarakat sebagai tempat guru ‘beroperasi’ juuga berpartisipasi dengan memberikan kontribusi kepada para kalangan guru di wilayah mereka. Dari pengertian pedekatan itu sendiri, walaupun hanya dijelaskan secara singkat, saya rasa guru lebih berada dalam posisi yang lebih diuntungkan, karena disamping mereka tidak dibebankan dengan diharuskan untuk membayar sejumlah dana untuk digunakan sebagai asuransi sosial mereka, mereka juga menerima kompensasi uang berupa bantuan tunai maupun pelayanan dengan sumber pembiayaan dari Negara dan bantuan sosial dan masyarakat lainnya.
Untuk menjawab pertanyaan besar yang seringkali saya ajukan di atas, yaitu; ‘ Adakah jaminan sosial untuk guru ?’ saya rasa jawabannya adalah ‘Diusahakan dan terus ditingkatkan utnuk ada’. Mengapa saya menjawab demikian? karena jaminan sosial yang dimaksud dalam undang-undang tersebut bukan tidak menyentuh seluruh guru, hanya saja yang menjadi ‘penikmat jaminan sosial’ ini masih belum menyentuh kalangan guru di semua tempat, hanya sebagian saja, mungkin hanya guru yang dekat aksesnya dengan daerah pusat, atau bagi guru yang berada di daerah ‘aman’. Seharusnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah sendiri saja untuk mengatur hal jaminan sosial ini, karena sesuai dengan pengertian jaminan sosial itu sendiri bahwa jaminan sosial merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang berasal dari masyarakat dan diberikan kepada masyarakat itu sendiri untuk mengatasi berbagai masalah hidup yang dihadapi oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Maka dari itu, sangatlah penting bagi masyarakat untuk ikut mengambil bagian dan terlibat secara aktif dan partisipatif untuk ikut membantu pemerintah dalam menyediakan jaminan sosial bagi kalangan yang saat ini masih dianggap sebagai ‘Thankless’ menjadi kalangan yang ‘Thankfull’. Sekali lagi, hal ini dikarenakan bahwa guru adalah profesi, dan guru adalah pekerja yang membutuhkan jaminan sosial.

Semua guru penerima tunjangan sertifikasi tentu harus bersyukur, karena negara telah mengucurkan dana sertifikasi buat mereka. Dari uang yang diterima mereka telah merasakan manfaatnya terutama dalam peningkatan kesejahteraan- sebagai tambahan gaji.
Jauh sebelum program sertifikasi tersebut diluncurkan, mungkin saat itu masih dalam tahap sosialisasi, sebahagian guru sempat berfikir tentang bagaimana wujud program sertifikasi tersebut. Apakah sertifikasi diberikan kepada segelintir guru yang memang dianggap professional, yang mana keprofesionalan mereka dibuktikan dengan serangkaian assessment yang valid dan terpercaya. Atau sertifikasi diberikan sebagai reward/ penghargaan kepada guru yang menang dalam seleksi, ya seperti seleksi guru berprestasi, guru teladan atau seleksi teacher of the year. “Wah kalau demikian pasti hebat, dan guru yang bersertifikat pasti memang guru yang ideal”.
Ternyata setelah itu program sertifikasi hanya dalam bentuk pemberian label sertifikasi terhadap guru secara massal, tanpa penilaian yang detail terhadap kualitas mereka: “guru santai atau rajin, guru berkualitas dan guru amburadul sama-sama dapat untung seritifikasi”. Sertifikasi kemudian menjadi berita hebat- menjadi angin segar- bagi guru. Dengan sertifikisasi guru akan sejahtera, dan pemberian sertifikasi sebagai tanda bahwa seorang guru telah menjadi guru professional, tidak percaya- coba lihat pin yang telah mereka terima. Namun apakah guru penerima sertifikasi telah mampu meningkatkan kualitas SDM pendidikan bangsa ini ?
Ternyata hampir semua guru mampu menerima sertifikasi dengan enteng, apalagi dengan adanya system quota. Dan ternyata para guru merasakan betapa mudahnya memperoleh label professional tersebut- apalagi setelah ada jaminan atau pelatihan dari universitas yang ditunjuk atau pusat diklat (pendidikan latihan) bagi sertifikasi guru yang seolah-olah sang guru telah berkualitas.
Kini pada beberapa media massa, sudah sering terbersit segelintir kekecewaan dan ketidakpuasan. Mereka mengatakan bahwa: “ternyata program sertifikasi belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata program sertifikasi tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan, ternyata program sertifikasi hanya baru sebatas membuat guru rajin datang ke sekolah dan mencukupi jatah/ quota jam mengajar menjadi 24 jam perminggu”. Bagi guru yang tidak cukup jam mengajar 24 jam, maka mereka boleh melakukan pembelajaran lewat team teaching. Ada ada saja bahwa ternyata ditemukan juga guru- guru yang galir atau licik dalam memikul beban team teaching- sebagai persyaratan mengajar 24 jam per minggu. Katanya lagi melakukan team teaching, ternyata yang satu ngajar dan yang lain membolos, dengan cara rekayasa, maka mereka sukses membuat “tim kucing”.
Kenyataan di lapangan bahwa tidak ada jaminan guru yang memperoleh pin (emblem) sebagai guru professional atau guru penerima sertifikasi, apalagi telah menerima kucuran dana segar, bakal menjadi guru yang sungguh-sungguh kompeten. Yakni memiliki kompetensi paedagogi, kompetensi, social, kompetensi komunikasi dan kompetensi profesi. Juga tidak ada jaminan guru yang sudah pulang dari kegiatan diklat (pendidikan latihan) yang dipandu oleh doctor dan professional sekalipun bakal menjadi guru yang professional. Juga tidak ada jaminan bahwa guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara team teaching bakal mampu meningkatkan SDM siswa.
Meningkatkan SDM siswa tidak segampang itu. Apalagi kalau sang guru tidak tahu dengan masalah motivasi belajar, minat belajar, model atau gaya mengajar. Tentu ada banyak hal. Andai ada dua orang guru yang sedang melakukan team teaching namun suasana kelas penuh dengan kecaman, bahasa menggerutu, mengeritik, maka jangan harap bahwa siswa akan termotivasi dalam belajar.
Walau guru penerima sertifikasi belum memperlihatkan kontribusi signifikan dalam peningkatkan SDM pendidikan, namun kita harap agar pemerintah tidak menghentikan program atau bantuan sertifikasi ini. Karena dana sertifikasi memang bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi mereka perlu pembinaan peningkatan mutu yang serius.
Persyaratan agar guru mampu menggenjot kualitas SDM anak didik adalah bahwa mereka sendiri harus memiliki kualitas diri yang tinggi. Dalam fenomena bahwa ternyata kualitas diri seorang guru belum ditentukan oleh sertifikat profesi yang mereka peroleh atau pelatihan professional yang mereka ikuti. Apalagi kalau mereka mengikutinya tidak sepenuh hati - asal-asalan saja.
Disinyalir bahwa seorang guru menjadi kurang menarik- belum mampu menjadi guru ideal di sekolah, karena mereka memiliki tiga kelemahan, yaitu: lemah dalam budaya membaca, lemah budaya diskusi dan lemah dengan budaya menulis. Kelemahan ini memang terbukti di lapangan.
Pergilah ke lapangan, ke sekolah-sekolah, maka kita akan menemui bahwa tidak banyak guru yang tekun dengan membaca. Hitunglah berapa orang guru yang gemar membaca- walau hanya baru sebatas membaca majalah atau Koran, apalagi kalau membaca buku buku bermutu lainnya. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) hampir 90 % perpustakaan sekolah tidak diperdayakan- dibiarkan terkunci sepanjang hari. Ini berarti cukup banyak siswa SD yang tidak merasakan betapa indahnya membaca itu, pantaslah tidak begitu banyak anak yang kenal dengan nama majalah anak-anak.
Kalau begitu target membaca di SD hanya sekedar membuat siswa bisa membaca kalimat-kalimat pendek saja. Setelah siswa pandai membaca, mereka tidak pernah diajak dan dimotivasi untuk membaca buku lagi. “Ya bagaimana..., guru SD itu sendiri juga tidak merasakan betapa enaknya menjadi pembaca, guru-guru SD sendiri juga banyak yang alergi dengan bacaan- kalau membaca ya mataku segera berair”. Rapuhnya budaya membaca semakin berlanjut ke jenjang SMP dan juga oleh guru SMP, terus ke jenjang SLTA. Kita temukan cukup banyak guru guru SLTA dan juga para mahasiswa yang tidak menyukai membaca. Mereka cuma lebih betah main game lewat layar computer atau otak atik phone-cell, bukan berupaya bagaimana kualitas diri bisa meningkat.
Kalau mereka tidak pernah membaca dan amat jarang membaca, ya bagaimana mereka akan kaya dengan wawasan dan memiliki ilmu pengetahuan yang memadai buat diri sendiri dan bagi orang lain. Catatan yang ada pada dinding rumah puisi Taufiq Ismail di Kenagarian Aie Angek, di Lereng gunung Singgalang, dekat Padang Panjanang, mengungkapkan bahwa sekolah- sekolah di negara tetangga yang maju seperti Australia, New Zealand, dan Singapore selalu menugaskan siswa-siswi mereka agar membaca puluhan karya sastra per semester. Sementara aktivitas begini hampir nihil bagi pendidikan kita. Nah inilah penyebab rendahnya SDM kita, namun banyak orang yang kurang tertarik untuk mengekspose nya, atau mengajak “kembali membaca dan mengaktifkan kembali perpustakaan sekolah”.
Kelemahan kedua dalam pendidikan kita adalah bahwa budaya diskusi dan berdebat termasuk langka. Guru sebagai pendidik belum terbiasa dalam diskusi dan berdebat, mereka hanya terbiasa dengan debat kusir. Guru-guru yang tidak terbiasa dengan berdiskusi juga akan tidak tertarik dengan metode diskusi dalam pembelajaran. Mereka merasa sangat nyaman untuk mengajar dengan metode konvensional. Merasa gerah kalau ada siswa yang kritis dan banyak Tanya, “wah mulutmu bisulan ya ..., kerja kamu ngomong dan bertanya tidak karuan melulu”. Alpanya budaya berdiskusi dan berdebat telah membuat daya nalar guru dan budaya nalar anak didik menjadi lemah. Ini juga menjadi pemicu mengapa SDM anak didik cenderung rendah.
Akhirnya budaya lain yang juga alfa dalam pendidikan kita adalah budaya menulis. Sebenarnya seorang guru identik dengan figur intelektual. Ternyata sungguh banyak mereka yang tidak mampu dalam menulis. Menulis karya ilmiah, menulis proposal dan apalagi melakukan penelitian ilmiah adalah suatu hal yang mahal. Kini dalam musim kualifikasi pendidikan- bahwa semua guru harus memperoleh pendidikan strata satu. Maka dalam menyelesaikan skripsi yang cuma dalam bentuk penelitian tindakan kelas (PTK) mereka pun masih terlihat kasak kusuk dalam meramu tulisan yang mereka anggap ilmiah dengan metode copy paste. Masih sulit juga menyelesaikan PTK, ya terpaksa mencari cara aspal- asli tapi palsu.
Apakah mungkin guru-guru yang tidak terbiasa dalam menulis akan mampu menularkan kebiasaan menulis buat anak didik. Satu atau dua orang siswa di sekolah memang ada yang menyukai menulis. Mereka mampu menulis cerpen, puisi atau artikel ringan. Itu sebagian karena mereka terinspirasi oleh bacaan yang kebetulan berisi motivasi. Nah bagaimana kalau mereka memperoleh pasokan motivasi dari sang guru, pasti hasilnya sangat luar biasa.
Tidak perlu berputus asa bila guru guru- apalagi guru penerima sertifikasi belum memberikan kontribusi dalam meningkatkan SDM pendidikan kita. Namun mereka perlu mengubah pola pikir.
Ilham Mustafa (2011) telah menulis tentang arah pemikiran mahasiswa. Tulisannya dapat kita sadur untuk mengarahkan guru. Pertama, mereka perlu menciptakan budaya membaca, karena ada sloga yang berbunyi “dengan membaca kita genggam dunia. Mengapa Amerika dan Eropa bisa maju ? Karena penduduknya aktif membaca. Masyarakatnya rata-rata kutu buku. Penduduk Negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka ke mana pun pergi. Ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, dan aktivitas lainnya, mereka tidak pernah lupa untuk menyempatkan membaca, dengan membaca mereka punya wawasan.
Kedua, guru perlu menciptakan tradisi diskusi. Budaya diskusi akan membuat guru menjadi lebih kritis dan bisa menguasai konsep. Ketiga, guru perlu menciptakan budaya menulis. Dengan menulis maka guru bisa mengatualisasikan pemikirannya. (note: Ilham Mustafa (2011) Arah Pemikiran Mahasiswa. Padang: Koran Singgalang, 16 Februari 2011).(Ippank)

No comments:

Post a Comment