Laman

Thursday 19 May 2011

MENJADI GURU PROFESIONAL BUKAN SEKEDAR LULUS UJI SERTIFIKASI

Pendahuluan

Salah satu bukti rendahnya mutu pendidikan di Indonesia terlihat dari laporan International Education Achievement (IEA). Menurut IEA, kemampuan membaca untuk tingkat SD siswa Indonesia berada dalam urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara kemampuan matematika siswa SLTP Indonesia berada dalam urutan ke-39 dari 42 negara. Adapun kemampuan IPA, Indonesia masuk dalam urutan ke-40 dari 42 negara Jika dibandingkan dengan


negara-negara di ASEAN, ternyata posisi Indonesia tetap berada pada urutan paling bawah. Selanjutnya Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator di atas adalah penguasaan terhadap IPTEK di mana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. (H. Isjoni, 2006:19-20).
Berkaitan dengan fenomena di atas, setidak tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan kita saat ini, yaitu: issu seputar masalah guru, kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah dan issu sarana dan prasarana belajar mengajar.

a. Issu seputar masalah guru

Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Dalam konteks sosial budaya MBOJO misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “dou ma di to’a” (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masaah kesejahteraan guru.
1. Masalah kualitas guru
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD kita saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
Banyak guru yang belum memiliki persyaratan kualifikasi. Guru TK sebanyak 137.069 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 12.929 orang (9,43%). Guru SD sebanyak 1.234.927 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 625.710 orang (50,67%). Guru SMP sebanyak 466.748 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 299.105 orang (64,08%). Guru SMA sebanyak 377.673 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 238.028 orang (63,02%).
Persentase guru layak mengajar terhadap guru menurut status sekolah di NTB SMP/ junior secondary school (JSS) tahun: 2006/2007.

No Guru Jumlah/total %
Negeri Layak % Swasta Layak % Guru Layak
1 10,736 8,105 75.49 1,374 1,066 77.58 12,110 9,171 75.73


2. Jumlah guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.
Di NTB perkembangan jumlah guru Negeri dan swasta dari tahun 2003/2004 s/d tahun 2005/2006 yaitu :

No Tahun Status sekolah Jumlah
Negeri Swasta
1 2003/2004 7,295 673 7,968
2 2004/2005 8,612 884 9,496
3 2005/2006 9,067 1,174 10,241

3. Masalah distribusi guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.
4. Masalah kesejahteraan guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan sekolah dimana mereka mengajar tenaga pendidik. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.
b. Kebijakan pemerintah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai institusi penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita. Dalam Konteks ini, beberapa langkah maju telah dicapai oleh pemerintah saat ini. Lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan strategi jangka panjang dalam membenahi carut marut dunia pendidikan kita. Sudah barang tentu, UU tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai bentuk peratutan-peraturan yang berada dibawahnya, termasuk issu Badan Hukum Pendidikan (BHP), peraturan perbukuan maupun issu sertifikasi bagi para pengajar untuk meningkatkan standar kualitas mereka.
Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan untuk menglaokasikan 20% dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan Negara. Dalam tahun anggaran 2004 yang lalu, untuk sektor pendidikan baru di alokasikan sebesar 6,6%. Tahun 2005, jumlahnya telah meningkat menjadi 9,29% dan tahun 2006, rencananya akan dialokasikan 12,01%, 14,60% untuk anggaran tahun 2007 dan berturut-turut sampai tahun 2009 nanti, diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan akan menjadi 17,40% dan 20,10%.

c. Manajemen sekolah

Manajemen pendidikan di Indonesia, secara umum dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung pemerintah (sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak swasta (sekolah swasta). Perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikit banyak akan mempengaruhi mutu dan kualitas anak didik di masing-masih sekolah serta secara tidak langsung telah ikut menciptakan “ketimpangan” dalam pengelolaan sekolah. Bagi para keluarga yang secara ekonomi mapan, maka mereka cenderung akan mampu memasukkan anak-anaknya pada sekolah-seklah favorit yang biasanya memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit. Begitu pula sebaliknya, bagi yang keluarga yang kurang mampu, biaya sekolah dirasakan mahal dan menjadi beban tersendiri bagi ekonomi keluarga. Belum lagi kebijakan pemerintah dimasa lampau yang cenderung membedakan berbagai bentuk bantuan untuk sekolah negeri dan swasta, secara langsung maupun tidak telah ikut memperparah ketimpangan dunia pendidikan. Dalam konteks ini, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk tidak membedakan antara sekolah yang di kelola oleh Negara maupun sekolah yang di kelola oleh pihak swasta.

d. Saran dan prasarana sekolah
Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan keuangan yang masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN yang masih tinggi serta faktor-faktor lain, telah menyebabkan kondisi sekolah masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian proses belajar mengajar yang belum maksimal, merupak beberapa kendala nyata yang masih kita hadapi.
Sarana dan Prasarana Pendidikan. Banyaknya ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar. Ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629 ruang, yang kondisinya masih baik 77.399 ruang (82,67%), Ruang kelas SD yang jumlahnya 865.256 ruang, yang kondisinya masih baik 364.440 ruang (42,12%), Ruang kelas SMP yang jumlahnya 187.480 ruang, yang kondisinya masih baik 154.283 ruang (82,29%), Ruang kelas SMA yang jumlahnya 124.417 ruang, yang kondisinya masih baik 115.794 ruang (93,07%), (Sumber : Indonesia Educational statistics in brief 2003/2004; Balitbang Diknas).

Profil Pendidikan DI NTB

Keterangan SD SMP SMU Perguruan Tinggi Jumlah
Jumlah penduduk berusia sekolah (5 – 24 years) 759,400 285,100 249,200 383,500 1,677,200
Penduduk berusia sekolah yang saat ini bersekolah 563,593 133,673 89,565 33,863 820,694
Penduduk berusia 5 – 24 tahun yang TIDAK SEKOLAH 195,807 151,427 159,635 349,637 856,506
Jumlah putus sekolah 16,461 6,532 2,058 na 25,051
Persentase Drop Out (%) 2.87% 4.90% 2.46% na
APK (%) 103.03 69.54 41.95 4.92
APM (%) 92.48 57.19 33.45 3.35
Jumlah Sekolah 2,785 340 220 28 3,373
Jumlah kepala sekolah & guru / dosen 24,683 9,836 6,929 2,378 43,826

Indikator-Indikator Pendidikan Dasar dan Menengah

Indikator-Indikator SD SMP SMU
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Kelas 19,087 1.88% 3,569 1.75% 1,857 2.03%
Ruang Kelas* 13,883 1.55% 3,254 1.61% 1,606 1.86%
> Kondisi baik** 6,556 47.30% 2,678 82.88% 1,419 90.21%
> Kondisi rusak ringan** 4,540 32.75% 438 13.56% 111 7.06%
> Kondisi rusak berat** 2,765 19.95% 115 3.56% 43 2.73%
Rasio siswa per sekolah 202 393 424
Rasio siswa per guru 23 13.59 14
Rasio siswa per kelas 30 37.45 38
Rasio kelas per sekolah 6.85 10.50 11.19
Rasio kelas per ruang kelas 1.37 1.10 1.18
Rasio kelas per sekolah 1.30 2.76 2.70
Rasio guru per sekolah 9 29 30
Guru sesuai kualifikasi 67% 87.33% 79.10%
Guru di bawah kualifikasi 33% 12.67% 20.90%
Cat. : * Ruang kelas milik + bukan milik
** Ruang kelas milik berdasarkan kondisi

Indikator-Indikator Pendidikan

Indikator-Indikator Universitas Institut Sekolah Tinggi Akademi Politeknik
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Lembaga 9 1 12 6 n/a
Dosen 1,600 44 597 137 n/a
Rasio mahasiswa per lembaga 2,188.44 3,561 801.92 163.83 n/a
Rasio mahasiswa per dosen 12.31 80.93 16.12 7.18 n/a
Rasio dosen per lembaga 177.78 44 49.75 22.83 n/a

Sumber : Departemen Pendidikan Nasional (2004-2005)


Dengan berbagai permasalahan di atas maka gurulah yang banyak disorot dan disalahkan dan guru, akhirnya menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan sebuah perjuangan sekaligus komitmen untuk meningakatkan kualitas guru yaitu kualifikasi akademik dan kompetensi profesi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau D4. Sedangkan kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dengan sertifikat profesi, yang diperoleh setelah melalui uji sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru, maka seorang guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok. Intinya, Undang-Undang Guru dan Dosen adalah upaya meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka.
Persoalannya sekarang , bagaimana persepsi guru terhadap uji sertifikasi?, bagaimana pula kesiapan guru untuk menghadapi pelaksanaan sertifikasi tersebut ? dan adakah suatu garansi bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu ?. Analisa terhadap pertanyaan-pertanyaan ini mesti dikritisi sebagai sebuah feed back untuk pencapaian tujuan dan hakekat pelaksanaan uji sertifikasi itu sendiri.
Pengalaman di lapangan, menunjukan bahwa di mata guru, uji sertifikasi adalah sebuah ” revolusi” untuk peningkatan gaji guru. Padahal, ini adalah suatu political will pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru yang sangat besar kontribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Miskonsepsi semacam ini, membuat para guru dapat menghalalkan segala cara dalam membuat portofolionya dengan memalsukan dokumen prestasi atau kinerjanya, seperti yang terjadi di Yogyakarta dan Bali. Dalam konteks ini diperlukan kejelian dari tim penilai portofolio untuk melakukan identifikasi dan justifikasi. Semua penyimpangan harus diungkap atas nama kualitas, dengan melakukan cross check di lapangan.
Uji Sertifikasi bagi guru mesti dipahami sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan yaitu kualitas guru. Sertifikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman yang benar tentang hakekat sertifikasi akan melahirkan aktivitas yang benar dan elegan, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka proses belajar kembali mesti dimaknai dalam konteks peningkatan kualifikasi akademik yaitu mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru, sehingga mendapatkan ijazah S1 / D4. Ijazah S1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar seperti jual-beli ijazah, melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapat tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru yang mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana diisyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan pintas guna memperoleh sertifikat profesi kecuali dengan mempersiapkan diri dengan belajar yang benar dan tekun berkinerja menyongsong sertifikasi.
Idealisme, semangat dan kinerja tinggi disertai rasa tanggung jawab mesti menjadi ciri guru yang profesional. Dengan kompetensi profesional, guru akan tampil sebagai pembimbing (councelor), pelatih (coach) dan manejer pembelajaran ( learning manager) yang mampu berinteraksi dengan siswa dalam proses transfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang baik. Semangat untuk tetap belajar (bukan hanya mengajar) akan membantu guru untuk meng-upgrade pengetahuannya, sehingga dapat menyiasati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peluang pemanfaatannya untuk memajukan proses belajar mengajar di kelas. Sertifikasi guru adalah amanat Undang-undang bagi semua guru di Indonesia yang jumlahnya sekitar 2,8 juta baik negeri maupun swasta, jadi bukan sesuatu yang mesti diperebutkan oleh guru. Semua akan kebagian, asalkan telah memenuhi persyaratan. Marilah kita terus tingkatkan kompetensi dan profesionalisme kita, sehingga dapat meraih prestasi dan prestise dibidang pendidikan, untuk selanjutnya dapat berdiri sejajar dan bersaing dengan negara-negara lain.
SOLUSI :
Jalan yang dapat dilakukana untuk meningkatkan Profesionalisme guru antara lain:
1. Gaji yang memadai. Perlu ditata ulang sistem penggajian guru agar gaji yang diterimanya setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya dan pendidikan putra-putrinya. Dengan penghasilan yang mencukupi, tidak perlu guru bersusah payah untuk mencari nafkah tambahan di luar jam kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta khawatirakan pendidikan putra-putrinya. Guru mempunyai waktu yang cukup untukmempersiapkan diri tampil prima di depan kelas. Jika mungkin, seorang guru dapat meningkatkan profesinya dengan menulis buku materi pelajaran yang dapat dipergunakan diri sendiri untuk mengajar dan membantu guru-guru lain yang belum mencapai tingkatnya. Hal ini dapat lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya. Jika anak didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih berhasil.
2. Kurangi beban guru dari tugas-tugas administrasi yang sangat menyita waktu. Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang guru, dibuat oleh suatu tim di Diknas atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar dalam mengajar dan membantu guru-guru prmula untuk mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru.
3. Pelatihan dan sarana. Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Beri kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya.(Ippank)

No comments:

Post a Comment